Lelaki Pejuang itu Bernama Ayah

by Kelik NW

Dani terpaksa berjalan kaki dari Gombong hingga Bandung. Bukan hanya demi mudik. Ia di PHK dari tempatnya bekerja dan tak tahu akan kerja apa lagi di perantauan. Lebaran tinggal hitungan hari, sementara jangankan THR, pesangon pun tak ia terima. Berbekal Rp. 120 ribu rupiah bersama istri dan kedua anaknya nikreuh sejauh 300 KM.

Dani, puncak gunung es berjuta ayah di negeri ini. Tanggungjawab sebagai seorang kepala keluarga harus dihadapkan pada kenyataan sulitnya mencari sesuap nasi. Tak sedikit ayah yang tetap memakai seragam kerja dan berangkat di pagi hari. Padahal, dia telah seminggu di PHK. Tak ingin membuat sedih sang istri ia tetap berlagak bekerja seperti biasa. Setelah keluar rumah, ia terdiam di pinggir jalan, atau emperan masjid kebingungan tak tahu apa yang harus dilakukan.

Ada juga ayah yang sampai menjual becaknya. Satu-satunya sumber pendapatan rejeki yang telah menemaninya puluhan tahun. Itu ia lakukan karena tidak ingin mengecewakan anaknya memiliki HP. HP untuk sekolah. “Ya, nanti dipikir lagi,” Jawabnya setelah ditanya, lalu bagaimana nanti mencari rejeki bila becaknya dijual.

Ada juga ayah yang membawa kue ulangtahun untuk perayaan kecil sang buah hati. Dibeli dari uang sisa terakhir yang ada di dompetnya. Riang kegembiraan sang anak, menari di kelopak matanya saat ia membeli kue itu. Tak ingin ada tangis kesedihan di hari bahagianya. Ia merelakan tidak makan seharian untuk kebahagian anaknya.

Di sisi lain, ada istri yang tidak mau tahu. Pokoknya dapur harus tetap ngebul. Bahan bakar dana harian harus selalu ada. Sebab makan nggak bisa libur. Kerja nggak kerja, makan mah tetap. Istri menuntut pada suami setiap sore saat kembali ke rumah. Beras habis, listrik belum dibayar, kebutuhan quota untuk anak sekolah dan serentetan proposal kebutuhan domestik disampaikan. Dalam kebingungannya suami tak kunjung meng-acc karena memang nggak ada dana untuk pencairannya. Suami akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa melakukan pencairan, sebab bila tidak, perceraian di depan mata.

Tetapi ada istri yang menjadi penyejuk dalam rumah tangga. Ia justru menerima segala kondisi sang suami yang tidak lagi bekerja. Ia akan mengatur dana yang ada. Sembari mencari peluang tambahan pendapatan. Akhirnya pilihan diambil, istri bekerja. Suami dan istri bekerja sudah lazim di perkotaan.

Ada anak yang memahami kondisi sang ayah. Menyesuaikan kebutuhan belajarnya. Menyiasati permasalahan sekolah online. Sing penting, sekolah selesai.

Tidak sedikit anak yang tidak memahami kondisi orangtua. Dalam benaknya, ayah harus memenuhi segala kebutuhan anak. Bagaimanapun caranya. Tak peduli ayah banting tulang, kepala jadi kaki-kaki jadi kepala, kerja dari pagi hingga petang, hingga begadang tengah malam, memenuhi keinginan anak. Anak adalah raja.

Kondisi ayah PHK dialami saya saat krisis moneter 1997. Krisis yang mulai terasa sejak 1996 itu berakibat di PHK nya ayah saya. Padahal, saat itu saya baru saja lulus SMA. Cita-cita ingin menempuh pendidikan tinggi pun kandas. Jangankan untuk membiayai kuliah, membayar kontrakan pun kami mesti ngirit. Akhirnya, dari sedikit uang pesangon ayah berjualan pakaian impor hingga berjualan materai di kantor Jamsostek. Guna membantu ekonomi keluarga, cita-cita kuliah saya tunda. Saya putuskan untuk bekerja. Melamar kerja di saat krismon sangat sulit, di saat freshgraduate dan korban PHK bersaing mencari kerja, saya alami. Mulai dari sales sandal refleksi hingga hampir tertipu perusahaan tak jelas. Bekerja di pabrik vulkanisir ban akhirnya saya berlabuh. Tiga tahun saya lewati sebelum memutuskan untuk kuliah.

Bagi saya, ayah adalah pahlawan. Seorang pekerja keras yang tak pandai menyerah. Bekerja apapun untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hingga di usia sepuhnya pun enggan ongkang kaki berharap kiriman dari anak-anaknya. Mulai dari dagang mie ayam, daging ayam, bubur ayam hingga berjualan gas 3 kg. Kepribadian ayah adalah teladan bagi saya sebagai seorang ayah. Tanggungjawab terhadap keluarga, pelajaran tak tertulis yang diajarkan pada anak-anaknya.

Bagi para ayah di luar sana. Bersyukurlah bila masih bekerja. Bersyukurlah bila masih memiliki pendapatan. Sayangilah keluarga dengan rejeki yang diperoleh. Ada doa anak dan istri dalam setiap tenaga yang dikeluarkan saat bekerja.

Bersyukurlah, sebab di tempat lain ada jutaan ayah yang kebingungan tak bekerja. Ada jutaan ayah yang hampir putus asa. Hatinya menangis walau senyumnya terpancar saat menggendong anaknya yang baru lahir.

Untuk para ayah pejuang keluarga. Bersyukurlah walau saat ini tidak bekerja. Bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup oleh Yang Maha Kuasa. Diberi kesempatan melanjutkan hidup. Menghidupi keluarga. Yakinlah, Tuhan sedang menunjukan pada diri Anda semua, jalan rejeki yang lain. Bukan dari pabrik yang telah memPHK Anda saja rejeki itu. Yakinlah, Tuhan sebaik-baiknya penunjuk dan pembuka pintu rejeki. Apapun yang terjadi, sayangi keluarga. Sebab, doa anak dan istri di rumah saat Anda mencari rejeki di luar sana diijabah Tuhan. Hingga saat Anda pulang ke rumah di petang hari membawa sejumput rejeki halal untuk keluarga.

Buku “IMPLEMENTASI MODERASI BERAGAMA DI MASYARAKAT ADAT”

Judul Buku: IMPLEMENTASI MODERASI BERAGAMA DI MASYARAKAT ADAT (Studi di Desa Tigawasa-Bali)

Penulis: Dr. Enok Risdayah, M.Ag., dan Paryati, M.Si.

Editor: Muhammad Dzaka Nahari Budiman

Layout & Desain: Maulana Malik Ibrahim

Sinopsis: 

alam perjalanan hidup, ilmu adalah bekal yang sangat penting. Rasulullah SAW pun mengajarkan kita untuk senantiasa mencari ilmu, di mana pun dan kapan pun. Ilmu bukan hanya sebagai alat untuk memahami dunia, tapi juga sebagai cahaya yang menuntun langkah kita ke arah yang lebih baik. Dalam semangat inilah, saya terinspirasi untuk menyelami kehidupan masyarakat adat di Desa Tigawasa, Buleleng, Bali. Topik tentang moderasi beragama yang menjadi fokus buku ini sejalan dengan ajakan pemerintah dalam mengampanyekan pentingnya menjaga keseimbangan antara agama dan tradisi lokal. Desa Tigawasa, dengan segala kekayaan budayanya, menjadi tempat yang sangat menarik untuk mengamati bagaimana nilai-nilai moderasi beragama dapat diterapkan tanpa menghilangkan identitas adat.

Melalui buku ini, saya ingin berbagi pandangan tentang bagaimana masyarakat adat Tigawasa berhasil menjaga harmoni antara tradisi dan nilai-nilai agama. Harapannya, apa yang saya temukan di sini bisa menjadi inspirasi bagi komunitas lain dalam menghadapi tantangan modernisasi, sekaligus menjadi sumbangsih positif bagi dialog antaragama dan pelestarian budaya. Tentu saja, buku ini tidak akan terwujud tanpa dukungan banyak pihak. Untuk itu, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada tokoh-tokoh adat dan masyarakat Desa Tigawasa yang dengan tulus membagikan cerita dan wawasan mereka. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada keluarga, sahabat, dan semua pihak yang telah memberikan dukungan moral dan semangat.

Buku “KONSEP SEKOLAH INKLUSIF Pemahaman dan Pengembangan”

Judul Buku: KONSEP SEKOLAH INKLUSIF Pemahaman dan Pengembangan

Penulis: Dr. Nurhayati, S.Ag, M.Pd.I., Dr. Hj. Durrotunnisa, S.Ag, M.Si., Dr. Waway Qodratulloh S, S.Pd., M.Ag., Dr. Hj. Sriati Usman, M.Hum., Dr. Ferdinan S.Pd., M.Pd.I., Amrullah, S.Pd, M.Pd., Sita Awalunnisa, S.Pd, M.Pd

Editor: Waway Qodratulloh

Layout & Desain: Tim Lekkas

Sinopsis: 

Keragaman siswa selalu memiliki pola tertentu dan akan dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman mereka sebelumnya. Keragaman tersebut juga dibentuk oleh budaya dan lingkungan sekitar, selain dari pembawaan dari masing-masing individu siswa itu sendiri, sehingga seorang guru harus memiliki kemampuan dalam menyusun program pembelajaran yang dapat mengakomodir keragaman yang ada. Dimulai dari membuat perencanaan, mengaplikasikan dalam Tindakan, dan melakukan evaluasi dan refleksi sebagai tindak keberlanjutan.

Guru juga harus selalu open minded (berpikiran terbuka) terhadap hal-hal baru dan siap untuk membuat perubahan, beradaptasi dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan baru yang selalu berkembang setiap saat. Hal ini dimaksudkan supaya guru tidak tertinggal oleh capaian dan kemajuan yang dialami oleh siswa nya sebagai generasi Z yang adaptable dengan teknologi dan informasi.

Buku “ISLAMIC GREEN SCHOOL Pedoman Praktis Sekolah Ramah Lingkungan”

Judul Buku: Islamic Green School Pedoman Praktis Sekolah Ramah Lingkungan

Penulis: Amalia Nur Milla, Yosini Deliana, Tati Suryati Samsuddin, Rachminawati, Fitma Fitria Iqlima, Dyah Lyesmaya

Editor: Dyah Lyesmaya

Ilustrator: Eviana Ariani

Layout: Feri

Sinopsis: 

Menjaga lingkungan di sekolah, madrasah, dan pesantren telah diamanatkan dalam Al-Quran, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Adiwiyata. Bagi warga Muhammadiyah, hal ini juga tercantum dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM). Sebagai muslim, warga Muhammadiyah diharapkan menjadi teladan dalam mengamalkan ajaran Islam di berbagai aspek kehidupan, sehingga secara kelembagaan dan individu, mereka dapat menjadi pelaku dakwah yang membawa rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin).

Buku “PANDUAN PRAKTIS ETIKA DALAM USAHA”

Judul Buku: PANDUAN PRAKTIS ETIKA DALAM USAHA

Penulis: Luthfi Ahmad Tamimi, Mela Amelia, Wafi Nadiah Rahmawati

Editor: Rovi Husnaini, S.Th.I., M.Ag.

Desainer: Alya Zahra Afifa, Mohammad Akhtar Fakhri Adjie

Sinopsis: 

Buku ini salah satu cara untuk membuat branding yang baik untuk melatih dalam mengkonsep sebuah perusahaan Islami baik itu jasa maupun produk atau barang. Dengan diadakannya rancangan Business plan yang bagus dan berisi gambaran secara umum perusahaan Islami, dan juga mencantumkan produk yang dihasilkan oleh setiap perusahaan dengan mencakup design logo, visi dan misi, tujuan, sasaran serta analisis rancangan perusahaan Islami.

Buku “Manajemen Kinerja Guru”

Judul Buku: Manajemen Kinerja Guru

Penulis: Ismail Z Betawi

Editor: Kelik NW

Desainer: Lekkas

Sinopsis: 

Badan Pusat Statistik (2022) merilis bahwa Provinsi Papua dan Papua Barat mendapat skor rendah pada Indeks Pembangunan
Manusia 2021, masing-masing dengan skor 60,62 dan 65,26. Fenomena ini menunjukkan meskipun ada perbaikan bertahap, skor
ini tetap yang terendah di Indonesia. Pendidikan merupakan kebijakan sosial yang penting untuk meningkatkan pembangunan
manusia di Papua, namun belum mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah. Ketiadaan negara dalam pendidikan dan
pengembangan sumber daya manusia terutama terlihat di daerah pesisir dan pegunungan. Kurangnya kualitas guru merupakan masalah yang signifikan di semua jenjang pendidikan di Papua. Selain itu, jumlah guru honorer melebihi jumlah guru PNS, yang biasanya memiliki kualitas yang lebih baik. Terakhir, kebijakan pemberian beasiswa di Papua tidak dikelola dengan baik. Untuk menunjukkan kepada rakyat Papua bahwa negara ada untuk mereka, pemerintah harus mengatasi akar permasalahan pendidikan tersebut.


Hubungi Kami