Oleh Kelik N. Widiyanto
“Cintailah orang yang engkau cintai seperlunya, karena bisa saja suatu hari dia akan menjadi musuhmu, dan bencilah orang yang kamu benci seperlunya, karena bisa jadi suatu hari kelak dia akan menjadi orang yang engkau cintai.” (HR: Al-Tirmidzi)
Cinta dunia berakhir neraka, cinta akhirat berbalas surga. Cinta dunia penuh intrik, politik, dan pragmatik. Cinta akhirat penuh ketulusan, pengorbanan, dan kesetiaan. Tiada cinta yang paling indah selain cinta kepada sang pemilik ruang dan waktu. Karena kita hidup di dunia, wajar bila cinta dunia. Tapi cintailah dunia secukupnya saja. Cintailah dunia dengan tujuan akhirat. Jadikan cinta dunia jalan menuju cinta sejati.
Pesan Nabi itu benar nyatanya. Saat di Real Madrid, Sergio Ramos momok menakutkan bagi pemain Barcelona. Tanpa pikir panjang, bersama Pepe, kerap menjatuhkan pemain Barcelona, terutama Lionel Messi. Dalam satu pertandingan el clasico, saat Messi menggiring bola dari tengah lapangan, Ramos menyapu tulang kering sekeras-kerasnya hingga sang Mesia terpelanting. Hampir dalam setiap el clasico Messi dan Ramos terlibat pertarungan sengit.
Keduanya membela klub masing-masing. Klub yang membayarnya. Totalitas dalam bermain diberikan sebagai bukti mereka layak dibayar mahal. Kalau perlu patah kaki di lapangan akan mereka lakukan. Kecintaan mereka kepada klub lebih bersifat pragmatis. Tetapi, mereka menjadikan lawan sebagai musuh yang tak terampuni.
Siapa nyana, lawan menjadi kawan. Setelah Madrid tidak membutuhkan tenaga Ramos lagi, setelah Barcelona tak mampu membayar Messi lagi, dua seteru ini menjadi kawan dalam perjuangan. Dari yang awalnya saling membenci kini saling mencinta. Di klub barunya saling bahu membahu meraih pretasi tertinggi bersama. Tiada lagi persaingan, yang ada kolaborasi.
Dekade lalu malah Figo membuat gebrakan tak kalah mencengangkan. Beralih ke tim rival. Saat di Barcelona dipuja The Cules, tapi Figo mendapat cemooh saat membela Los Blancos. Perpindahan ini karena kepentingan sesaat. Gaji. Apa lagi selain yang dicari dari pemain professional selain uang. Dengan masa kerja yang singkat. Pensiun diusia menjelang 40. Masa bagi seorang aparat naik menjadi kepala dinas, seorang pemain sepakbola malah pensiun.
Dalam sepakbola pula kita mengalami perpindahan pemain antarklub antarpelatih (AKAP) hal yang biasa. Tak perlu ditanggapi serius. Seperti perpindahan seorang politisi dari satu partai ke partai lain. Membalikan dukungan politik dari berlawanan menjadi kawan sejalan demi posisi dan jabatan. Memang terasa mirip. Keduanya pragmatis. Dalam politik dan sepakbola kita semakin yakin, tiada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan.
Rumus utama itu, tiada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan, menampakan betapa kejamnya politik. Dalam politik lebih tega. Bukan hanya bertarung melawan pihak yang bersebrangan, bahkan kawan seperjuangan pun dijegalnya. Semuanya untuk mencapai tujuan politik pribadi. Bagi sebagian politikus, inilah seni berpolitik. Bagi kaum awam, inilah pengkhianatan. Dalam politik dan sepakbola, cinta itu memiliki maknanya sendiri.