Oleh: Kelik N Widiyanto
Di saat banyak orang kesulitan untuk mudik, Ilam Maolani diberikan kemudahan untuk pulang kampung. Mudik lokal dari Kota Tasikmalaya ke Desa Rawa Singaparna diperbolehkan pemerintah setempat. Tapi untung tak bisa diraih, malang tak dapat ditolak. Dua hari menjelang idul fitri, ia terpaksa menjalani isolasi.
Kesibukan berdakwah di sepuluh hari terakhir di Bulan Ramadlan, memaksanya bersilaturahmi dengan banyak pihak. Sebagai ulama, bersilaturahmi dan menuntun umat yang kebingungan sudah menjadi panggilan jiwa. Mulai dari mahasiswa hingga ibu-ibu majelis taklim. Mulai dari aula kampus hingga masjid di kampung. Tak kenal siang hingga tengah malam. Luring juga daring.
Berawal dari demam yang ia anggap biasa, akhirnya badan menyerah pula. Setelah berobat ke klinik milik mantan walikota Tasikmalaya, guru PAI terbaik tingkat Jawa Barat pada 2019 lalu itu disarankan dokter untuk istirahat total. Tapi panggilan umat dan aktivitas sosial lainnya tak menyurutkan semangat berdakwahnya. Merasa sudah sehat dan dibekali obat dari klinik ia melanjutkan berdakwah. Namun, beberapa hari kemudian, kondisinya tak kunjung membaik. Ia berinisiatif memeriksakan kondisi kesehatannya ke IGD Rumah Sakit TMC Tasikmalaya. Hasilnya, positif covid.
Dokter menyarakan isolasi di rumah saja, karena kondisi darah masih bagus, dan imun cukup bagus. Dua hari saja Guru PAI SMP ini kuat isolasi di rumah. Setelah memastikan ada kamar kosong di RSUD Dokter Soekardjo Tasikmalaya, akhirnya ia menjalani isolasi di rumah sakit. Dua hari menjelang idul fitri.
Janji pada sang ibu akan mudik pada malam takbiran pun buyar. Janji pada umat untuk menjadi imam dan khatib sholat ied di kampung gagal. Janji bersilaturahim dengan sanak kerabat tak dapat terpenuhi. Di kamar Tulip menjalani isolasi dalam kesendirian. Sayup gema takbir di luar rumah sakit menambah haru suasana.
Terlebih dalam tujuh hari pertama kondisi tubuh tidak kunjung membaik. Batuk terus menerus terasa hingga ulu hati. Saat ada pasien lain yang ditempatkan dalam satu kamar, ia minta agar dipindah kamar karena takut batuknya mengganggu. Magrib ia pindah dari kamar 204 ke 207. Subuh terdengar kabar pasien yang baru masuk kemarin, meninggal dunia.
Secercah harapan saat perawat menyampaikan bila Ilam kondisinya akan membaik, karena ia tidak memiliki penyakit penyerta dan kondisi imunnya sangat baik. Obat yang selama seminggu diminum secara oral, akhirnya disalurkan bersama cairan infus. Batuk Ilam membaik, dan bisa tidur nyenyak.
Tiga hari setelah lebaran, saat kondisi fisik mulai membaik, Ilam mendapat kabar duka, ayah mertua meninggal dunia. Ayah mertua meninggal di rumah sakit yang sama. Tetapi karena Ilam sedang menjalani isolasi ia tak bisa menemui ayah mertua untuk yang terakhir kali. Ilam sangat dekat dengan sang ayah mertua. Bahkan Ilam sudah bertekad untuk mengurus jenazah sang ayah bila kelak meninggal, mulai dari memandikan hingga menguburkan. Satu lagi janji tak terpenuhi. Ia hanya bisa melihat prosesi pengurusan jenazah dari vidio call sang istri dan adik iparnya.
Di hari ketujuh ia membuat video yang ditujukan kepada kawan, sahabat, kerabat dan keluarga. Mengabarkan bagaimana kondisi terkini. Dalam hati, umur tak ada yang tahu. Pasien yang kemarin baru masuk saja tak tertolong, tak menutup kemungkinan ia akan menyusul. Ia mesti siap bila dihadapkan pada kondisi terburuk.
Berita tentang covid yang sangat dekat dengan pintu kematian. Ditambah kabar duka yang bertubi-tubi, menyadarkan Ilam untuk semakin dekat dengan Tuhan. Guru PAI ini tak henti membaca Quran yang ia bekal dari rumah. Motivasi dan nasihat dari sang istri yang disampaikan melalui telepon dan vidio call untuk pasrah dan ikhlas menghadapi kondisi menambah semangat untuk bisa sembuh. Sang istri bukan sekali ini saja setia menemani Ilam. Beberapa tahun yang lalu, Ilam mesti menghabiskan waktu sebulan di RS Hasan Sadikin. Istri setia menemani. Kesetiaan sang istri dan senyum buah hati satu-satunya yang mulai beranjak dewasa adalah “imun” tersendiri.
“Kang,” pesannya pada penulis.
Covid itu ada. Saya yakin ia ada. Tetangga saya menjadi bukti. Saya sendiri mengalami. Tak ada yang kebal terhadapnya. Saat kita merasa jago dan kebal nggak akan kena covid, menyesal seumur hidup bila terkena.
“Akang harus yakin, covid itu ada. Maka akang mesti patuh pada prokes,” pesan keduanya.
Jangan lepas memakai masker. Selalu mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir. Disiplin menjaga jarak. Sebisa mungkin menjauhi kerumunan dan membatasi mobilisasi dan interaksi.
“Dan kang, ingat selalu pada Allah Swt,” pesan pamungkasnya.