by: Kelik nw

Banyak yang tahu, Roni naik haji dari hadiah lomba menulis. Tapi, sedikit saja yang tahu, kalo lomba menulis itu menggunakan mesin tik. Ya, mesin tik manual. Mesin yang suaranya menggema. Mesin yang mengandalkan otot jari. Menulis 10-15 halaman perlu waktu seharian. Makanya, tempat lombanya pun jauh dari keramaian dan sedikit penonton. Nggak ada kerjaan banget lihat orang satu kelas ngetik bareng dari pagi hingga petang. Ini lomba nulis atau kantor kecamatan.

Sebagian peserta membalut jari dengan plester. Agar empuk saat memijit huruf. Memijit kayaknya istilah yang kurang tepat. Karena terlalu lembut. Menghantam mesin tik juga kelewatan. Istilah yang tepat mungkin, mengerahkan segala daya dan upaya agar huruf dapat timbul di kertas.

Saking tak terbiasa menulis dengan mesin tik, beberapa peserta lebih sibuk dengan mesin tiknya daripada menulis. Pas lagi enak ngetik, tiba-tiba macet. Buyar semua ide. Pas ada yang salah, dihapus, tipe x nya nggak mau kering. Saya terheran-heran saat ada tipe x rool on yang cepat kering dari peserta perempuan.
“Dari mana beli tipe x yang kayak gitu?” tanya saya.
“Masa orang Bandung, nggak tahu tipe x yang begini,” jawabnya ketus.
Nggak mau nanya lagi saya. Tapi saya dapat no hapenya.
Dua kali ikut lomba menulis ini, saya tak pernah menang. Tak apa. Karena target saya bukan menang. Tapi belajar. Belajar dari para penulis hebat. Selain Roni, alumni lomba ini kini telah menjadi tokoh-tokoh besar. Siapa yang tak kenal anak muda produktif, Fahd Fahdevi, pegiat dialog lintas iman, Wawan Gunawan, penceramah terkenal Abdul Qohar, dll. Dari mereka saya belajar menuangkan ide dan merangkai kata dengan baik dan benar. Kadang belajar, tak perlu diajari. Tapi dari pengalaman dan ujian lebih terasa mengena.

Tapi, saya juga ingin dapat pergi haji. Seperti Roni. Maka pada lomba yang ketiga saya serius belajar. Belajar dari suhunya suhu. Gurunya guru. Syekhuna Asep S Muhtadi Cililin, Kyai Agus Ahmad Syafii Majalengka, Kyai Aep Kusnawan Ciamis, Kyai Enjang AS Subang dan Kyai Dadan Suherdiana Tasikmalaya. Belajar bersama mereka di Fakultas Dakwah UIN Bandung. Saking seriusnya, setiap hari saya menulis. Mengikuti apa yang Roni lakukan. Seperti kata pepatah, bila ingin sukses, ikuti jejak langkah orang sukses. Maka saya ikuti semua apa dan bagaimana kebiasaan Roni. Kuncinya dua, satu terus menulis dan dua, mesin tik.

Saya rasa, kualitas tulisan saya dan Roni sudah hampir setara. Tapi faktor X perlu dipertimbangkan. Faktor mesin tik dan tipe X. Faktor tipe X saya sudah dapat. Dari peserta perempuan yang akhirnya luluh setelah setiap hari di-SMS darimana dapat Tipe X rool on. Malah saya membelikan untuknya satu. Faktor mesin tik ini tidak kalah penting. Karena Roni tidak bisa ikut lomba lagi, kena aturan yang sudah menang, tidak boleh ikut lagi. Ini kesempatan besar. Dengan dalih mesin tik saya rusak, saya pinjam mesin tik Roni. Karena saya yakin, faktor mesin tik tidak kalah penting agar jadi juara.

Lomba lah saya dengan mesin tik bertuah. Tuah sang juara. Dengan tingkat kepedean yang tinggi saya menulis. Persiapan fisik dan mental telah diasah. Pada hari H lomba, saya menulis dengan lancar. Semuanya sesuai yang diinginkan. Mengalir halaman demi halaman. Saya yakin saya akan menang.

Keesokan harinya, menjelang magrib, para juri mengumumkan hasilnya. Dan saya gagal. Ini tidak mungkin. Sebab, semuanya sudah sesuai rencana. Ide tulisan, referensi, data dan studi kasus lengkap. Dan faktor mesin tik bertuah juga. Semua peserta bisa menulis bagus. Tapi yang memakai mesin tik sang juara, hanya saya.

Beberapa hari kemudian kami bertemu. Saya ceritakan semuanya ke Roni. Roni malah terbahak. Iya memang itu mesin tiknya. Tapi dipake buat latihan saja. Mesin tik yang dipake buat lomba sudah disiapkan tim official. Kalo mau menang pake mesin tik yang disiapkan official. Dan memang, official yang menyiapkan Roni juga tim yang mempersiapkan sang pemenang saat itu. Mesin tik Roni saya simpan di rumah. Tidak saya berikan kembali. Agar tuah jago latihan tapi gagal saat lomba tidak menular ke junior. Suatu saat kelak, bila ada Museum Roni Tabroni, mesin tik ini akan jadi saksi perjalanan seorang intelektual.

Mesin Tik Haji Roni

Tinggalkan Balasan

Hubungi Kami
%d blogger menyukai ini: