Oleh; Kelik N Widiyanto

30 tahun lalu, di teras masjid, kerap tergeletak koran Republika. Ustaz kami saat mengaji dulu, membeli koran di awal penerbitannya dan disimpan di masjid. Harapannya, koran itu dibaca kami, para santri. Isinya kerap memberitakan nilai-nilai keislaman.

Berbeda dengan koran yang ada saat itu, Republika menyajikan sejarah Islam hingga pengetahuan populer keislaman lainnya. Rubrik yang nyaris tak akan didapat di koran lainnya. ICMI, sang bidan koran ini membawa Islam menjadi lebih populer. Banyak santri di berbagai pesantren menenteng Republika bersama kitab-kitab kuning lainnya sebagai bahan bacaan.

Di madrasah Tsanawiyah dan Aliyah tempat saya sekolah pun, perpustakaan berlangganan Republika. Ruh keislamanan mempengaruhi perpustakaan madrasah untuk berlangganan.

Saat kuliah, beberapa kali tulisan lepas saya dimuat Republika. Alhamdulillah, honor tulisannya bisa menyambung kuliah hingga selesai. Satu tulisan di Republika, honornya setara SPP kuliah satu semester. Sama dengan Pikiran Rakyat. Kalau Kompas lebih besar. Selain honor tulisan di koran, kuliah saya terbantu dengan beasiswa Djarum dan Supersemar.

Salah satu opini saya yang dimuat Republika, pernah membuat panik. Redaksi mendapat telepon dari beberapa pihak yang mencari saya. Tulisan saya dianggap melawan arus. Kritik saya pada Pemkot Bandung tidak disukai pro pemerintah. Redaksi menyampaikan sikap banyak LSM saat itu, bahkan ada yang menjurus rasis. Tapi itu tidak membuat saya takut. Tetap menulis, menyuarakan jerit kepedihan kaum mustadafin.

Di akhir penghujung kuliah, kami sebagai mahasiswa Jurnalistik, diwajibkan jobtraining di berbagai media massa. Minat mahasiswa Jurnalistik untuk magang di Republika cukup banyak. Kami yang mendaftar magang di Republika mesti antri.

Tibalah kami jadwal magang di Republika. Bertepatan dengan Ramadan di tahun 2003. Berdua bersama kawan Freni Satria Mulya Frank Satria Moelya . Di tengah jalan kawan saya ini mundur. Digantilah oleh kawan saya lainnya, Yusuf Hamdani Kawan saya ini pun tak lama magang. Gugur di tengah jalan.

Rutinitas mencari berita dari pagi hingga petang memang berat bagi yang baru turun menjadi wartawan. Sore hari kembali ke redaksi, menulis hasil reportase. Sudah selesai menulis ternyata tidak sesuai dengan kaidah atau kebijakan redaksi. Kami pun mesti mengulang. Hingga beberapa hari berita yang kami buat belum juga turun dimuat. Bila tidak kuat mental, sudah menyerah juga saya saat itu.

Hari pertama magang di Republika, saya tandem dengan Metha. Saat itu kami sedang wawancara humas KAI menjelang mudik lebaran. Tiba-tiba Metha dapat kabar, sedang ada penggerebekan tersangka teroris, Dr. Azhari, di Kebon Jukut, lokasinya sekarang di bawah Baltos.

Sebuah pengalaman mengagetkan. Wartawan berusaha mendapatkan berita sedetil mungkin. Wartawan TV blusukan mencari angel terbaik. Sambil was was bila Dr Azhari nekad meledakan diri. Suara tembakan mencekam. Dr. Azhari melarikan diri. Bom ditemukan dan diledakan polisi di lapangan Sabuga. Hari pertama jadi reporter sudah berhadapan dengan teroris dan bom.

Metha yang menulis berita, saya belajar padanya. Bagaimana memilih angel berita, menulis berita yang bernilai, hingga memilih diksi yang tepat. Jurnalistik memiliki bahasanya sendiri.

Hari demi hari kemampuan kami menulis berita dan karya jurnalistik lainnya semakin terasah. Terlebih bimbingan Teh Aan Arbaiyah Satriani dan Kang Heri Ruslan memberi insight yang sangat bermanfaat. Teori di kampus ditambah pengalaman di lapangan menambah pengetahuan jurnalistik kami.

Mungkin bagi wartawan senior, bekerja dalam tekanan deadline sudah biasa, tapi bagi kami itu luar biasa. Saking stressnya, saya pernah pulang jalan kaki dari Lengkong kecil hingga Cikadut. Malam hari di saat umat muslim selesai tarawih, saya baru diperbolehkan pulang setelah berita saya benar-benar sempurna. Lega rasanya berita selesai ditulis, tapi masih harap-harap cemas, apakah esok turun atau tidak beritanya.

Hingga malam takbiran, kami masih liputan. Bahkan esok saat idul Fitri kami diberikan tugas liputan. Saya pagi sekali mesti meliput ke lapas Sukamiskin. Liputan pemberian remisi. Di saat orang lain berkumpul bersama keluarga, saya wawancara para narapidana kelas satu Sukamiskin. Saat itu saya wawancara, seorang pelaku pembunuhan. Dia dipenjara karena membunuh dalam sebuah perkelahian.

Hingga akhir masa magang, kami benar-benar dihadapkan pada sebuah proses kerja jurnalistik sebenarnya. Republika, bagi saya, sekolah kedua setelah kampus. Tak dinyana, Republika, yang saat saya kecil, dibaca di teras masjid, saya pernah menjadi bagian darinya.

Terimakasih, Republika.

Penulis, wartawan magang Republika Jawa Barat tahun 2003

#akudankoranrepublika

Republikan

Tinggalkan Balasan

Hubungi Kami
%d blogger menyukai ini: