by Roni Tabroni
Dampak pandemi Covid-19 menyasar semua sektor kehidupan masyarakat, tidak terkecuali media massa. Baik cetak, elektronik, maupun online, tidak ada yang merasa baik-baik saja.
Sebagai sebuah industri, pergeseran dunia pers tanah air dari perjuangan, bukan tanpa resiko. Kehidupan pers tanah air sangat dipengaruhi oleh situasi ekonomi di tempat di mana media itu hadir. Ketika ekonomi terpuruk, apapun industrinya akan kena dampaknya, pun dengan media.
Pandemi Covid-19 sepintas akan membawa berkah bagi dunia televisi, karena pemerintah “memaksa” masyarakat untuk tetap di rumah. Dari sekian banyak jenis media, sebenarnya yang paling terdampak adalah media cetak. Sebab publik akan parno untuk memegang Surat Kabar yang di print karena tidak dijamin sterilnya.
Banyak yang menduga, pihak yang diuntungkan dengan kebijakan Work From Home (WFH) ini adalah televisi. Kenapa tidak, logika sederhana akan mengatakan jika ketika suntuk di rumah, orang paling mudah mengakses televisi. Ketika radio kini sudah jarang diakses di rumah, dan media online membutuhkan kuota, maka televisi lah yang paling mudah dan murah diakses. Sebab E-paper, sebagai pengganti versi cetak pun ternyata tidak gratis.
Tapi apakah benar jika angin itu berpihak pada televisi? Asumsi ini sebenarnya harus dibuktikan dengan (setidaknya) bertanya kepada pelakunya di lapangan. Sebab keberadaan masyarakat di rumah masing-masing belum tentu menonton televisi.
Dalam Webinar Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jawa Barat (7/5/2020) terungkap melalui Wapemred RTV Makroen Sanjaya, jika penonton televisi sebenarnya secata statistik tidak bertambah sama sekali. Itu artinya sampai tulisan ini dibuat, tidak ada perubahan perilaku masyarakat dalam mengakses televisi. Jumlahnya masih stuck dan tidak bergerak naik. Ketika ada kebijakan belajar lewat TVRI, lagi-lagi keyakinan publik mengatakan bahwa penonton TVRI aka melonjak tajam. Nyatanya, data membuktikan bahwa peningkatan itu ada tetapi tidak signifikan.
Kalau faktanya demikian, apa yang sesungguhnya dilakukan orang ketika di rumah? Masyarakat yang ada di rumah mungkin melakukan aktivitas baru, tetapi bukan membuka televisi.
Kegiatan itu mingkin ada korelasinya dengan tugas-tugas utama masyarakat seperti WFH tadi, atau bahkan sibuk dengan belajar dan mengajar di rumah. Selain itu, muncul juga tradisi Webinar yang diselenggarakan berbagai lembaga dan komunitas dengan tema yang sangat beragam.
Kegiatan PBM ini yang dalam banyak opini, menjadi sebuah kegiatan baru yang dianggapnya menyita waktu. Karena semua kegiatan itu berbasis online maka kemungkina aktivitas itu dilakukan dengan mengakses internet. Begiupun dengan rapat-rapat dan Webinar.
Akhirnya, yang mendapatkan berkah sebenarnya berbagai operator seluler dan layanan internet berbasis rumah. Peningkatannya cukup signifikan sebab belajar, bekerja, rapat, dan seminar di rumah ternyata memakan kuota yang tidak sedikit.
Dugaan yang perlu diteliti selanjutnya yaitu terkait dengan peralihan fasilitas sarana hiburan masyarakat. Karena terjadi penambahan penggunaan kuota internet, maka publik lebih mudah mengakses media sosial. Sedangkan dalam data hotsuite misalnya, youtube menjadi media sosial paling digandrungi di Indonesia.
Patut diduga, peralihan perilaku masyarakat itu ketika ada di rumah, tidak lari ke televisi, tetapi ke media berbasis internet seperti youtube dan medsos lainnya. Karenanya, industri televisi dalam kondisi ini tidak mengalami lonjakan penonton, walaupun sudah mencoba menghadirkan konten-konten yang lebih positif dan edukatif.
Tetapi, walaupun demikian, bukan berarti industri televisi harus menyesal dengan program yang disuguhkannya pada masa Ramadhan di tengan pandemi Covid-19. Upaya itu tentu saja akan menjadi kebaikan, walaupun secara bisnis mungkin tidak terlalu menjanjikan — berbeda dengan masa Ramadhan tahun-tahun sebelumnya.